Keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5% sangat disayangkan oleh Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI. Pasalnya saat ini masih dalam situasi pandemi COVID-19, sehingga hal tersebut tidaklah wajar.
Realitas di lapangan saat ini, industri tengah tertekan. Kenaikan CHT tahun-tahun sebelumnya diiringi oleh pertumbuhan ekonomi sebesar 5% dan inflasi 3%. Dalam kondisi tersebut saja, kenaikan cukai rata-rata 10% sudah berdampak pada penurunan produksi industri hasil tembakau (IHT) sekitar 1%.
“Tidak wajar, sebab kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli karena ada pandemi dan kenaikan cukai sangat tinggi pada 2020. Apalagi, perekonomian dan inflasi masih minus,” kata Henry dalam keterangan resmi, Kamis, 10 Desember 2020 kemarin, seperti dilansir dari TrenAsia.com.
Henry memperkirakan, kenaikan cukai yang eksesif pada 2021 akan berdampak pada semakin maraknya rokok ilegal, kematian industri menengah-kecil, serta serapan bahan baku lokal. Serbuan rokok ilegal dipicu oleh rendahnya selisih harga antara rokok legal dengan yang ilegal.
Menurut GAPPRI, IHT saat ini belum mampu menyesuaikan dengan harga jual maksimal akibat kenaikan cukai 2020 sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) 35%. Ia menjelaskan, harga rokok ideal yang harus dibayarkan konsumen pada tahun ini seharusnya naik 20%, tetapi baru mencapai sekitar 13%.
“Artinya, masih ada 7% untuk mencapai dampak kenaikan tarif 2020,” tukasnya.
Dengan kenaikan beruntun ini, GAPPRI mengaku sangat keberatan dengan kenaikan tarif cukai 2021 yang sangat tinggi tersebut. Meski keberatan, IHT menghormati keputusan pemerintah dan akan menaati kebijakan yang telah dibuat.
Di sisi lain, GAPPRI mengapresiasi kebijakan tidak naiknya cukai pada segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT). “Di masa pandemi ini, relaksasi lebih dibutuhkan oleh industri sebagaimana diberlakukan pada jenis SKT, dibanding beban kenaikan tarif cukai yang dibebankan pada jenis SKM dan SPM,” tegasnya.