Petani Tokawi Pacitan menjemur temu yang dipanen
Halo Berita

Temu Bathok Jadi Tabungan Para Petani Tokawi Saat Musim Paceklik

  • Halopacitan, Nawangan—Sebagai wilayah rawan kekeringan dengan topografi tanah yang bergunung-gunung, tinggal di Pacitan harus ulet dan kreatif untuk bertahan terutama masyarakat di wilayah pedesaan.

Halo Berita
AZ

AZ

Author

Halopacitan, Nawangan—Sebagai wilayah rawan kekeringan dengan topografi tanah yang bergunung-gunung, tinggal di Pacitan harus ulet dan kreatif untuk bertahan terutama masyarakat di wilayah pedesaan.

Seperti yang dilakukan sebagian masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan yang bisa terus berproduksi dan mencari nafkah dengan memanen empon-empon yang tetap tumbuh subur di ladang-ladang yang kering.

Bagi masyarakat Desa Tokawi, pada saat musim kemarau hampir tidak ada komoditas pertanian yang bisa di panen, berbagai tanaman yang menjadi komoditas utama hampir dipastikan susah tumbuh pada saat kemarau panjang seperti saat ini.

Masyarakat Tokawi juga tidak berani menanam palawija terutama ketela pohon karena serangan hama babi hutan yang mengganas selama bertahun-tahun. Seperti dituturkan Sri Wahyuni warga setempat,"Di ladang kita hanya menanam empon-empon  seperti temu bathok ini. Kalau ketela belum sampai panen sudah habis diserang babi hutan," jelasnya.

Sri memilih menanam temu bathok selain mudah tumbuh juga tidak butuh banyak perawatan. "Setelah ditanam, nanti dibiarkan liar tiga tahun baru kita panen," jelas Sri.

"Tanaman ini kami anggap sebagai tabungan saat paceklik kemarau," sambungnya. Selain itu menurut Sri, dibandingkan empon-empon yang lain seperti jahe atau kunyit, temu bathok lebih tahan terhadap penyakit dan perubahan musim.

Menurut Mbah Ragil yang juga  mertua Sri Wahyuni, yang pada saat ditemui saat menjemur irisan temu Minggu, (04/08/2019) mengatakan saat ini temu bathok laku di jual Rp6.000 perkilo kering patah. Menurut wanita berusia 87 tahun itu harga tersebut merupakan harga tertinggi yang pernah ia alami saat ini. "Itu kami jual ke pasar desa Tokawi. Jika dijual ke pasar Nawangan atau Arjosari harganya bisa Rp7.000," katanya.

Baik Ragil dan Sri Wahyuni mengaku tidak pernah menghitung keuntungan dari menanam temu ini. Sri menyatakan bahwa temu bathok adalah selingan sebelum ia dan keluarganya kembali membudidayakan janggelan saat musim hujan tiba.  "Yang penting pulang dari pasar dapat beras, garam dan lauknya," ucap Ragil menimpali penjelasan Sri. Namun jika mau dihitung, dari lahan sekitar 2.500 meter persegi, saat panen ia bisa mendapat uang Rp5 juta hingga Rp7 juta. "Tapi yaitu tadi, hanya tiga tahun sekali," imbuh Sri.

Sri juga menjelaskan bahwa sebenarnya temu bathok juga bisa di panen setahun sekali, namun menurut Sri kalau dipanen setahun sekali hasil yang diperoleh kurang memuaskan, selain itu tenaga yang dibutuhkan lebih boros.

"Saya pernah mengkalkulasi, saat panen pertahun saya kalikan tiga hasilnya lebih lumayan saat dipanen tiga tahun sekali," ucapnya. "Namun semua itu juga tergantung harga di pasar," sambung Sri.