Halopacitan,Bandar—Di Kecamatan Bandar misalnya, tidak ada transportasi umum yang menghubungkan daerah tersebut dengan Kota Pacitan yang menjadi Ibukota Kabupaten.
Sri Wahyu Purwaningsih, warga Desa Bandar mencoba mengingat-ingat pengalaman terakhirnya menaiki transportasi umum dari desanya ke kota kabupaten.
"Sepertinya, bus Marga Mulya terakhir itu sekitar tahun 2006 atau 2007," kata Nining, demikian wanita itu biasa dipanggil ketika berbincang dengan Halopacitan Rabu (10/01/2018).
Kepemilikan kendaraan pribadi menjadi penyebab masyarakat memilih untuk tidak lagi menggunakan transportasi umum. Sejak tahun 2011, kata Nining, dirinya sudah mahir bersepeda motor ke Pacitan. Sehingga tidak ada masalah baginya dengan tidak adanya transportasi umum ke kabupaten.
Marga Mulya merupakan perusahaan tranportasi umum swasta yang melayani jalur Bandar - Nawangan - Pacitan. Kala itu, bus beroperasi dengan jadwal keberangkatan pukul 06.00 WIB, 10.00 WIB, dan 15.00 WIB. Terbatasnya jadwal ini menjadikan masyarakat tidak bisa fleksibel menyesuaikan waktu perjalannnya.
Trayek ini kemudian mulai tidak beroperasi sejalan dengan tren kepemilikan sepeda motor. Alhasil kini tidak ada lagi transportasi umum dari Bandar ke Pacitan melalui Nawangan.
Saat ini, masyarakat Bandar memilih melewati jalur Grenjeng, Desa Kebondalem Kecamatan Tegalombo, untuk pergi ke kota. Dengan jarak tempuh sekitar 40 km, jalur ini memperpendek jarak tempuh melewati Nawangan yang sekitar 65 km. Terlebih lagi, jalur ini sudah diaspal dengan baik.
"Saya biasanya ke kota rombongan keluarga sewa mobil. Ibu mertua saya kadang naik ojek motor Rp. 100 ribu," tutur Yuli Pujiani masyarakat Desa Bandar lainnya.
Selain ojek, banyaknya truk yang mengangkut pasir dari Arjosari atau Tegalombo yang melewati jalur Grenjeng, juga menjadi alternatif transportasi bagi masyarakat yang tidak memiliki atau tidak dapat mengendarai sepeda motor.
"Lumayan banyak truk yang melintas. Terkadang tidak sampai lama nunggu juga sudah dapat truk," cerita Satiyo warga Dusun Banyon Desa Ngunut. Dirinya sering ke kota untuk menjual pisang.
"Saya berangkat sore mengangkut pisang diantar pickup tetangga, lalu menginap, dan paginya pulang naik truk pasir," Satiyo mengisahkan. Dirinya tidak merisaukan terbatasnya transportasi umum ke daerahnya.
Sepinya peminat transportasi umum juga dirasakan pengemudi di daerah lain. “Tidak seperti dulu, bus sangat diminati, sekarang anak-anak sekolah sudah membawa motor sendiri saat akan bepergian ke sekolah,’’ ungkap Sutarno salah satu sopir bus mini jurusan Pacitan-Lorok.
Penghasilan sopir pun turun drastis. Jika dulu sehari bisa membawa pulang Rp500.000, kini mereka paling banyak bisa mengantongi Rp200.000.” Biasanya penumpang yang ramai kalau waktu pasaran saja, misalnya Tulakan pada Kliwon dan Ketro pada pasaran Wage,’’ tambah Sutarno saat ditanya di salah satu perhentian bus. (Anita Bidaryati/ Muhamad Arief Wicaksono )