Halopacitan, Pacitan—Tepat bulan Puasa tahun 2015, Yuliatin (36) warga RT 01 RW 01 Lingkungan Kwarasan Kelurahan Baleharjo, Pacitan dan suaminya memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai buruh di Jakarta.
Tetapi sampai di kampung halaman dia bingung karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan. "Bingung setelah tidak kerja lagi di Jakarta, mau usaha modal tidak ada, mau kerja juga kerja apa, keahlian juga minim sementara kebutuhan keluarga juga semakin meningkat, untuk kebutuhan hidup, sekolah anak dan sebagainya,” katanya.
Untuk membantu suami dalam mencari nafkah, akhirnya dia akhirnya memutuskan membantu orang tua berjualan sapu lidi yang usahanya semakin lama semakin merosot. Bukan hal yang mudah untuk memulai usaha ini. Jatuh bangun dan berbagai kesulitan dia hadapi.
“Saya pun mencoba mencari pembeli hingga keluar kota, awalnya sampai ke Semarang, dan alhamdulillah dari sanalah saya melihat ternyata ada peluang dan mendapat pelanggan tetap," katanya kepada Halopacitan Senin (04/06/2018).
Setelah mendapat pelanggan tetap, bukan berarti kesulitan hilang. Masih banyak yang harus dihadapinya. Salah satunya sulitnya mencari orang yang membuat lidi serta sulitnya mencari lidi karena sudah jarang yang membuat sapu ini. Sementara di sisi lain permintaan semakin meningkat. Ditambah lagi modal yang juga sangat cekak.
"Hampir putus asa waktu itu, walaupun sudah dapat pelanggan, saya pun masih kesulitan cari lidi karena waktu itu para petani sudah jarang yang membuat sapu lidi, awal mencari lidi sampai ke Ngadirojo cuma dapat 50 ikat lidi, sementara untuk beli BBM saja Rp50.000 lebih,” katanya.
Bahkan dia sempat berpikir untuk meninggalkan usaha ini karena berbagai kesulitan tersebut. Selain tidak mudah hasilnya juga tidak mungkin mencukupi kebutuhan.
Namun setelah berbagai pertimbangan akhirnya dia mencoba bangkit. "Akhirnya saya rundingan dengan keluarga dapat saran untuk ajukan modal ke bank. Awalnya saya mengajukan kredit ke bank Rp50 juta dan itu pertaruhan yang berat bagi saya dan keluarga misal gagal dalam usaha ini jaminan pun akan lenyap, namun saya pun mencoba yakin dengan segala kuasa-Nya."
Setelah mendapat modal dari pinjaman di bank, Yuliatin bersama suami mencoba menggerakkan petani-petani di desa untuk membuat lidi lagi dan ia pun melebarkan sayapnya.
"Misal sudah terkumpul banyak tinggal ambil dan alhamdulillah pemasaran semakin luas selain ke Semarang kami bisa merambah ke daerah lain untuk menjual lidi, seperti ke Gresik, Jombang, dan Surabaya," terangnya
Sedikitnya dia harus setor sebanyak 4.000-4.500 ikat sapu lidi keluar kota. Jika sedang banyak, dia bisa menyetor 7000 ikat sapu lidi bisa ke luar kota dan dalam seminggu bisa dua kali pengiriman.
"Kalau yang disortir ini akan kami kirim ke Jombang, biasanya kalau ke Jombang baliknya bawa gerabah di jual dirumah dan sudah ada yang ambil dari sales," imbuhnya.
Sapu lidi yang sudah disortir dan siap dijual (Foto: Halopacitan/Sigit Dedy Wijaya)
Perempuan tiga anak ini ini harus rajin turun ke pelosok-pelosok desa seperti ke Donorojo, Kebonagung, Tulakan guna mencari sapu lidi yang didapatnya langsung dari petani dengan harga mulai Rp1.600 hingga Rp2.100, kemudian mendistribusikan hasil kerajinan tersebut ke tingkat pasar, yang dibantu satu orang pekerjanya.
"Kami beli dari petani sesuai ikatan lidinya, kalau ikatannya kecil ya sekitar Rp1.600 kalau ukuran standar Rp 2.100. Dengan harga itu kami juga pertimbangkan dengan BBM karena tempatnya jauh, dan sekarang bahkan sudah ada yang setor ke rumah, jadi kami jarang mengambilnya, tinggal sortir, jemur kirim," tandasnya
Setelah terkumpul, sapu lidi tersebut disortirnya dipilah dan dirapikan sesuai permintaan pasar. Untuk sapu ukuran sedang dia jual Rp2.500 kalau yang standar dijual mulai Rp3.000. “Kalau dirata-rata keuntungannya berkisar Rp700 hingga Rp 900 per sapu lidi," terang Yuli.
Dengan angka-angka tersebut, maka omzet Yuli per minggu bisa mencapai puluhan juta rupiah dengan keuntungan mencapai jutaan rupiah.
Setelah perjuangan yang panjang dan hampir membuatnya putus asa, Yuli kini bisa sedikit lega. Kini dia makin mantap menjadikan lidi sebagai jalan untuk mengubah nasibnya. (Sigit Dedy Wijaya)