Bermain Bagi Anak Usia Dini adalah Proses Belajar yang Berharga

SP - Jumat, 27 Desember 2019 15:40 WIB
Bermain adalah belajar undefined

Kesibukan anak-anak termasuk mereka yang masih usia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) saat ini tidak kalah dengan orang tuanya. Anak-anak diberikan jadwal yang sagat padat, mulai sekolah sampai mengikuti berbagai les matamatika, les membaca dan menulis. Fase yang seharusnya mereka lakukan dengan bermain tetapi justru dihadapkan pada hal-hal yang penat. Semua itu dilakukan orang tua dengan berbagai alasan, misalnya sekalian diikutkan les biar pulangnya bersama dengan orang tua yang pulang kerja, ada lagi yang memberikan alasan biar tidak bermain saja di rumah, biar dapat tambahan pelajaran. Padahal usia anak sampai dengan tujuh tahun adalah fase mereka bermain, fase mereka belajar dari orang-orang terdekatnya, fase mereka belajar dari alam dan lingkungannya.

Dr. Sri Pamungkas, M.Hum., yang konsen dalam basik keilmuannya, psikologi dan bahasa (psikolinguistik) menuturkan, “Berkembanganya teknologi, salah satunya hadirnya gadget memberikan dampak yang poistif dan dan negatif. Dalam hal demikian orang tua benar-benar harus bijaksana karena sebenarnya yang dibutuhkan anak adalah kasih sayang, perhatian, komunikasi serta interaksi, utamanya dari kedua orang tuanya. Ingatlah para ibu dan ayah, fase tumbuh kembang anak tidak akan terulang. Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan periode kritis dan sekaligus fase emas karena pertumbuhan otak sudah mencapai 80 persen dan pada usia 5-6 tahun, pertumbuhannya menjadi 90 - 95 persen. Jangan sampai kita menyesal kehilangan momen tersebut karena apa yang kita tanam hari ini pasti akan kita tuai kelak”.

Finlandia yang dikenal di seluruh dunia mempunyai sistem pendidikan terbaik menerapkan kebijakan anak usia di bawah tujuh tahun untuk tidak sekolah tetapi diwajibkan bersama ibunya untuk bermain sekaligus belajar. Ironisnya, di Indonesia sebaliknya, orangtua panik bila anak-anak mereka hingga usia PUAD belum bisa menulis, membaca dan menghitung sehingga segala upaya dilakukan untuk mencapai itu semua. Padahal sebenarnya yang perlu dilakukan pada usia dini adalah penguatan karakternya, anak-anak dikenalkan dengan permainan-permainan tradisional seperti gobak sodor, sunda manda (Baca: engkling dalam dialek Pacitan), yang memiliki semangat kebersamaan, ajak anak sering tampil bersama di depan publik, bermain peran bersama teman-temannya, memasak bersama-sama, bukan video games yang hanya mementingkan kemenangan, bukan kerjasama. Oleh karenanya orang tua harus selektif dalam memilih permainan untuk putra putrinya karena bermain bagi anak-anak sama dengan belajar.

Ketua IGTKI (Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia) Pacitan, Widi Astuti, S.Pd., menuturkan kepada halopacitan (26/12/2019) bahwa proses pembelajaran pada anak usia dini harus dikemas dengan permainan yang menyenangkan. Perempuan kelahiran Pacitan 59 tahun yang lalu itu menyampaikan bahwa apa yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan kita, insyaallah sudah dilaksanakan di Pacitan. “Kami mengenalkan keaksaraan awal karena memang ada di dalam kurikulum, itu pun dilakukan dengan bermain dan bernyanyi, tidak semata-mata memaksa anak untuk menulis, menghitung dan membaca. Misalnya, a..a… aku suka apel, i…i… ibu masak ikan. Selain itu, kami terus memacu literasi anak agar imajinasinya bagus dengan sesi mendongeng atau membacakan buku. Prinsipnya bahwa belajar di PAUD itu adalah bermain”.

Hal tersebut sesuai dengan instruksi Mendikbud, Nadiem Makarim, dilansir dari Pikiran Rakyat,com, bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dilarang memaksa anak untuk membaca, menulis dan menghitung (calistung) karena hal itu tidak membuat anak bahagia saat berada di sekolah. Lebih lanjut mendikbud mengatakan bahwa proses pembelajaran di tingkat PAUD seharusnya menemukan potensi setiap anak, dalam proses tersebut pastinya dibutuhkan guru-guru yang mencintai anak.

Bagikan

RELATED NEWS