Mencermati Penggunaan Bahasa dalam Media Luar Ruangan

SP - Kamis, 23 Januari 2020 18:53 WIB
Dr. Sri Pamungkas, S.S., M.Hum, Pakar Pendidikan dan Pemerhati Anak, Tinggal di Pacitan Jawa Timur undefined

Media luar ruang merupakan sebuah sarana komunikasi dengan menggunakan alat tertentu yang diletakkan di luar ruang atau di luar gedung yang dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada khalayak. Oleh karena itu, media luar ruang diletakkan pada tempat strategis sehingga memberikan dampak besar bagi masyarakat.

Media luar ruangan yang sering dijumpai adalah billboard/baliho, spanduk, poster, neon box, video tron, dan wall painting. Media luar ruangan termasuk iklan bermaksud: (1) menyampaikan pesan, misalnya waspada stunting, makan makanan sehat, dan sejenisnya; (2) menyampaikan citra diri baik lembaga maupun perorangan; (3) mengenalkan produk baru dan kebiasaan baru; (4) memberitahu adanya modifikasi produk; (5) memberitahukan perubahan harga, kemasan baru dan manfaat ekstra; (6) mengatasi persaingan; (7) memunculkan kesan positif; (8) memulihkan penjualan; (9) medukung dealer/agen; (10) merekrut tenaga kerja; (11) menjalin hubungan dengan konsumen.

Beberapa prinsip dasar penggunaan media luar ruangan (1) menggunakan bahasa yang telah diatur dalam Undang-undang kebahasaan nomor 24 tahun 2009: (2) pesan yang disampaikan tidak menyinggung SARA (suku, agama, ras dan antargolongan); (3) bersifat mendidik; (4) taat aturan, misalnya dengan mengurus pajak dan dipasang di tempat-tempat yang bukan area yang tidak diperkenankan. Bila media luar ruangan sudah memenuhi hal tersebut tentu akan terjadi komunikasi yang lebih elegan dan masyarakat pun secara tidak langsung diberikan pedidikan tentang penggunaan media luar ruangan.

Pilihan kata atau diksi manjadi hal yang sangat penting dalam media luar ruangan karena penggunaan diksi yang tepat akan memberikan pengaruh bagi masyarakat secara luas. Diksi menyangkut ketepatan penggunaan kata, nilai rasa, dan perbedaharaan kata. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam pemilihan kata bukanlah sekedar memilih kata yang tepat melainkan juga kata yang cocok, yaitu sesuai dengan konteks kata itu berada dan maknanya tidak bertentangan dengan nilai rasa masyarakat pemakainya karena dalam memilih kata diperlukan analisis dan pertimbangan tertentu.

Fenomena PILKADA Bupati dan Wakil Bupati Pacitan yang akan digelar tangga 23 September 2020 nanti menyuguhkan fakta menarik. Kadidat yang mengklaim dirinya sebagai bakal calon Bupati Pacitan mulai bermunculan sejak 2019 kemarin. Sudut-sudut jalan di Pacitan kota sampai dengan pelosok desa hingga gang-gang penuh dengan gambar para bakal calon. Mulai pengusaha, politisi, akademisi, profesional, berkompetisi memperebutkan simpati rakyat untuk menaikkan elektabilitasnya. Para kandidat hadir di tengah masyarakat dengan media luar ruang yang dikemas sedemikian rupa demi menarik perhatian masyarakat.

Hadirnya foto diikuti dengan diksi yang membangun kalimat menjadi wakil pikiran para kandidat di tengah-tengah masyarakat. Semua itu untuk merebut hati rakyat, bukan saja gambar yang ditonjolkan tetapi tim para kandidat harus mampu membangun konstruksi kebahasaan sehingga dapat mempengaruhi massa tanpa menyinggung SARA, sehingga bahasa media luar ruang harus sesuai UU dan Perpres.

Undang-undang kebahasaan RI nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan diterbitkan dan disahkan pada 9 Juli 2009 oleh Presiden keenam RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Pasca terbit undang-undang kebahasaan tersebut, terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya, namun belum mencakup keseluruhan berkaitan dengan Undang-undang Kebahasaan nomor 24 tahun 2009, maka terbitlah Peraturan Presiden Nomor 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, tanggal 30 September 2019, termasuk penggunaan bahasa di media luar ruangan. Tips untuk dalam memartabatkan bahasa Indonesia dalam media luar ruangan adalah sebagai berikut.

  1. Keluarga, masyarakat, dan pemerintah harus bersinergi meminimalkan penggunaan bahasa asing di ruang-ruang publik, seperti dalam hal diksi atau memilih kata yang tepat, restoran bukan restaurant, fotocopi bukan photo copy, vila bukan villa, kolam renang bukan swimming poll, taman tirta bukan waterpark, kos bukan kost, tempat wudu bukan tempat wudhu/wudlu, praktik bukan praktek, dorong bukan push, obral bukan sale, dan lain sebagainya. Demikian pula pada penulisan kelompom kata, Dokter Spesialis Syaraf bukan Neurologist, Ruang Tindakan bukan Surgical Room, Hotel Plaza bukan Plaza Hotel, Simpang Cibubur bukan Junction Cibubur, Mal Pacific bukan Pasific Mall.
  2. Memperhatikan penulisan singkatan seperti dr (dokter), Dr (doktor), CV/PT bukan CV. PT., jalan bukan jln, s.d. (sampai dengan ) bukan s/d. Demikian juga dalam penggunaan istilah, misalnya, Praktik jam 16.00 adalah bentuk yang kurang tepat, karena yang tepat adalah Praktik pukul 16.00. Hal ini disebabkan jam menunjukkan bendaya sedangkan pukul menunjukkan waktunya.
  3. Dalam penulisan gelar sebaiknya mengikuti aturan penulisan. Misalnya, Paijo, S.H., bukan Paijo, SH atau Paijo SH. Kata hubung dan sebaiknya ditulis dengan aksara latin bukan tanda &, dalam hal penulisan.

Konsistensi dan taat aturan termasuk dalam penggunaan media luar ruangan akan membentuk keteraturan sehingga bahasa Indonesia akan lebih bermartabat di negerinya sendiri.

Bagikan

RELATED NEWS