Tiga Bank Syariah Merger, Simak Tantangan Yang Bakal Dihadapi

SP - Rabu, 02 Desember 2020 03:30 WIB
PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah (BNIS) telah mempublikasikan Ringkasan Rancangan Penggabungan Usaha (merger) / Dok. Kementerian BUMN undefined

Tiga bank syariah pelat merah masih terus hangat diperbincangkan. Aksi korporasi PT Bank Syariah Mandiri, PT BNI Syariah Mandiri, dan PT BRI Syariah Tbk (BRIS), ditargetkan selesai pada Februari 2021.

Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk antisipasi menghadapi ‘badai’ Pandemi COVID-19 yang juga berdampak bagi industri perbankan hingga tahun depan. Mengigat dampak pademi juga terjadi pada bank syariah maka peningkatan antisipasi risiko akan menjadi tantangan utama.

Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah Mukhaer Pakkanna menilai, manajemen bank syariah hasil merger mesti bersiap untuk menghadapi situasi yang unprecedented.

Pandemi memiliki multiplier effect yang besar. Manajemen harus mulai melakukan review dan revisi target pertumbuhan,” ujar Mukhaer dalam keterangan tertulis yang dikutip dari TrenAsia.com, Selasa, 1 Desember 2020.

Menurutnya, salah satu risiko yang akan dihadapi adalah peningkatan rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF). Hal ini akan menjadi tolok ukur kemampuan bank syariah hasil merger dalam bertahan.

Kendati demikian, NPF bank syariah masih tercatat lebih baik ketimbang bank konvensional. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPF bank umum syariah (BUS) ada di level 3,31% per Juli 2020. Sementara itu, NPF unit usaha syariah (UUS) sebesar 3,38%.

Di sisi lain, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta ini juga menyebut, ada harapan besar dari publik terhadap bank syariah hasil merger. Melalui aksi penggabungan, kata dia, masyarakat menginginkan Indonesia memiliki entitas bank syariah sebesar Dubai Islamic Bank di Uni Emirat Arab (UEA).

Mukhaer menuturkan, Dubai Islamic Bank mampu menarik sebanyak 55% konsumen perbankan di UEA pada 2019. Persentase ini naik dibandingkan pada 2015 yang sebesar 47%. Menurutnya, bank asing tersebut mampu bersaing dengan bank konvensional multi dimensi.

“Utamanya dari merger bank syariah, ke depan harus ada penerapan prosedur baru yang menjamin perbaikan layanan,” ujarnya.

Peneliti Ekonomi Syariah INDEF Fauziah Rizki Yuniarti berharap, bank syariah hasil merger bisa menghadirkan produk murah. Selain itu, pagu pembiayaan untuk sektor UMKM juga diperbesar dengan pengembangan Bank Wakaf Mikro (BWM).

“Dengan modal yang bertambah, bank syariah hasil merger bisa memiliki tarif pembiayaan yang murah,” ungkapnya.

Diketahui, bank hasil merger diperkirakan bakal memiliki modal dan aset yang cukup. Total aset akan bertambah hingga Rp214,6 triliun, dengan modal inti lebih dari Rp20,4 triliun.

Berdasarkan aturan PBI No. 17/12/PBI 2015, pembiayaan perbankan syariah ke sektor UMKM diwajibkan minimal 20% dari total pembiayaan.

Namun, kata Fauziah, selama ini bank syariah hanya memenuhi angka persyaratan tersebut. Oleh karena itu, rencana bisnis bank (RBB) bank syariah pelat merah ke depan didorong wajib untuk mempertimbangkan hal ini.

“Ini harus masuk ke dalam RBB bank syariah BUMN untuk menjawab keraguan masyarakat, bahwa fokus bisnis tidak hanya ke konglomerat,” ujar Fauziah.

Bagikan

RELATED NEWS