JAKARTA — Rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau dan Kesehatan terus menuai polemik. Upaya revisi beleid tersebut dinilai belum memenuhi partisipasi publik dan tidak memiliki evaluasi yang mendalam sehingga cacat prosedur.
Dosen sekaligus Ahli Kebijakan Publik Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Riant Nugroho menyampaikan, bahwa dalam membentuk suatu kebijakan sejatinya harus melibatkan publik dan tidak boleh didasari atas kepentingan satu pihak saja.
Begitupun dalam hal revisi PP 109 /2012 yang mana harus memikirkan dampak publik atas kebijakan yang dibuat. Dalam hal ini revisi PP 109/2012 akan merugikan Industri Hasil Tembakau (IHT), зetani tembakau sampai dengan pedagang rokok ritel. Oleh sebab itu, untuk menyusun dan membentuk aturan itu harus dievaluasi secara mendalam.
“Kalau kebijakan belum ada evaluasinya kemudian mau diubah, itu adalah kejahatan. Pemerintah tidak bisa mengkhianati prinsip Good Governance, jadi harus ada evaluasi yang benar, baik dilihat dari kepentingan nasional, politik dan evaluasi kebijakan internasional,” terang Riant dalam diskusi hukum Urgensi Revisi PP 109/2012.
Yang terpenting juga, kata Riant, dalam membuat kebijakan itu harus didasari besarnya kepentingan nasional atau national interset sebanyak 75%, kemudian global interest 23% dan setelah itu enemy interest 3%. Oleh karena itu, pemerintah jangan sampai memperbesar ruang dominasi global.
“Kalau sampai memperbesar kepentingan global, ini namanya negara jajahan. Pembuatan kebijakan yang unggul itu ada tiga ciri: cerdas, bijaksana dan memberikan harapan. Jadi proses revisi (PP 109/2012) yang hari ini dikerjakan, lebih baik berhenti dulu, back to zero, kemudian baru digagas, apakah kebijakan sudah ada mencapai hasil yang dikehendaki, atau kurang, atau justru melebihi,” ungkap dia.
Seperti diketahui, rencana revisi PP 109/2012 digagas oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui mekanisme Izin Prakarsa kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena tidak masuk ke dalam prioritas Pemerintah untuk disusun peraturannya tahun ini, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 4 Tahun 2021 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2021.
Pakar Hukum International sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai, rencana revisi PP 109/2012 tidak mendesak. Menurutnya, ada indikasi intervensi asing yang mengganggu kedaulatan negara lewat dorongan rencana revisi PP109/2012. Maka dari itu ia meminta revisi peraturan itu sebaiknya tidak dilanjutkan.
“Masalah revisi PP 109/2012 ini terdapat pihak tertentu yang mengganggu kedaultan negara berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau (IHT). Padahal kalau kita bicara mengenai industri hasil tembakau ini banyak menopang lapangan kerja, kehidupan masyarakat dan juga perekonomian nasional,” terang Hikmahanto dalam paparannya. Dengan begitu ia meminta kepada pemerintah untuk tetap teguh dan jangan sampai diintervensi oleh negara lain ataupun LSM asing tersebut.
Plt. Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Roberia menyampaikan dalam hal mengajukan perubahan aturan melalui Izin Prakarsa, maka pemohon tidak bisa jalan sendiri, melainkan wajib membentuk panitia antar kementerian untuk masuk ke dalam harmonisasi aturan di Kemkumham. “Setelah memahami prosedur ini, dinamikanya bisa kita lihat apakah ada urgensi dalam revisi PP 109/2012 itu. Harus ada harmonisasi karena bisa saja kementerian satu bilang ini harus direvisi, kementerian yang lain mengatakan sebaliknya. Maka rapat harmonisasi harus terjadi dan kesepakatan harus terlebih dahulu terjadi,” ungkap Roberia.
Tak hanya lintas kementerian, kata Roberia, partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan juga di jamin dalam dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Adapun partisipasi masyarakat diikutsertakan dalam tahap perencanaan, selanjutnya dalam menyusun aturan pemrakarsa harus melakukan uji publik. Dengan kata lain prosedur penyusunan kebijakan harus melalui beberapa tahap.
“Tidak bisa sepihak, ada rapat persiapan, rapat pleno siapa yang mau diundang untuk uji publik,” ungkap dia.