YOGYAKARTA-Komarudin adalah nama legendaris dalam perjuangan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Sosok yang dikenal Bengal dan kebal peluru.
Jika anda melihat film Janur Kuning yang mengisahkan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Komarudin ini menjadi sosok yang lumayan menonjol. Dia dan anak buahnya sudah melakukan serangan sehari sebelum hari H gara-gara salah menghitung tanggal. Bahkan dia harus menangis di depan Panglima Besar Jenderal Sudirman karena kesalahannya tersebut.
Kisah bahwa Komarudin sosok kebal peluru ternyata bukan mitos. Bahkan dia masih memiliki kemampuan ini hingga wafatnya.
Namun, menurut Daud Sinjal Dalam buku Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya menyebutkan Letnan Komarudin pernah dituduh terlibat dalam pemberontakan DI/TII yang dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo.
Vonis itu muncul ketika kompi Komarudin (saat itu berpangkat kapten) pada tahun 1950-an dikirim ke Malangbong, Garut, untuk menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Namun, Kapten Komarudin bukannya berperang, ia malah asyik memilih “ngopi-ngopi bareng” pasukan DI/TII.
Barangkali Komarudin merasa jengah berperang dengan para gerilyawan DI/TII yang sebagian merupakan rekannya saat aktif di Laskar Hizbullah. Malah di antaranya ada juga yang pernah satu perguruan dengannya saat belajar agama dan kanuragan.
“Akibatnya Mbah Komar dan pasukannya ditarik kembali ke Yogya. Sampai di markasnya Mbah Komar dan kompinya langsung dipecat secara massal,” kata Prianto dalam buku itu. Ia masih memiliki garis keturunan sebagai cucu dari Komaruddin.
Dalam bukunya itu, Daud Sinjal menuliskan bahwa hasil penyelidikan lanjutan menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Komarudin ternyata tidak benar. Namanya juga direhabilitasi.
Sementara selepas dari tugas militernya, Komarudin memilih hidup di Jakarta dan menjadi preman di Pasar Senen.
Komarudin dikisahkan sebagai seorang pemberani di medan peperangan. Dipercaya memiliki kesaktian kebal peluru, Komaruddin tanpa takut memburu para tentara Belanda ditengah hujan peluru.
Letnan Komarudin diketahui sebagai komandan peleton di SWK 101, Brigade X pimpinan Mayor Sardjono, anak buah Letnan Kolonel Soeharto.
Daud Sinjal dalam bukunya ‘Serangan Umum 1 Maret 1949, Laporan Kepada Bangsa’ menyebutkan Komaruddin selepas PETA bergabung dengan Laskar Hizbullah. Kesaktian Komarudin konon karena ia masih memiliki hubungan darah (sebagai cicit) dengan Kiai Abdur Rahman yang dikenal sebagai Mbah Tanjung. Kiai ngetop yang hidup di Ploso Kuning, Minomartani, Sleman, pada zaman Sultan Hamengku Buwono I.
Komarudin juga dipercaya keturunan langsung Bantengwareng, salah seorang panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro. Karena keturunan orang-orang sakti itulah, banyak dipercaya anggota pasukannya, ia kebal terhadap senjata apa pun. Dan ini sempat membuat dokter pusing.
Sebagaimana diketahui Komarudin setelah memilih mundur dari tentara memilih merantau ke Jakarta dan menjadi preman di Pasar Senen. Sekitar tahun 1972 Komarudin akhirnya kembali ke Kotagede.
Tidak lama sampai di kota tersebut, ia kemudian jatuh sakit hingga mengalami koma dan dirawat di Pusat Kesehatan Umat (PKU) Muhammadiyah.
Dokter Barid adalah nama salah seorang yang menanganinya. Selain usia yang menua, pola hidup yang tidak teratur memperburuk kesehatannya. Beruntunglah ia pernah belajar kanuragan sejak masih lajang. Sisa-sisa kekebalannya diceritakan dengan cukup konyol.
“Waktu kami rame-rame menengok Mbah Komar, dokter Barid mengeluh. Zaman dulu dokter sendiri yang menyuntik dan dokter Barid bilang selalu gagal menyuntik Mbah Komar karena kulitnya atos (keras) sekali,” kata Priyanto yang juga cucu dari Komarudin.
Tahun 1973, Mbah Komar mengembuskan napasnya yang terakhir di Kotagede. Jenazahnya dikebumikan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.
Tulisan ini telah tayang di jogjaaja.com oleh Ties pada 01 Mar 2022