Paguyuban Song Meri, Menjaga Tradisi Petilasan Para Peri

Dias Lusiamala - Senin, 11 April 2022 08:00 WIB
Pusat kegiatan Paguyuban Song Meri (Halopacitan/Dias Lusiamala)

PACITAN-Paguyuban Song Meri ini sudah berdiri sejak 2012. Awal mula Song Meri berbentuk sanggar namun saat mengajukan izin ke Kemenkumham berubah menjadi pagguyuban.

Amin Sastroprawiro selaku Ketua Paguyuban Song Meri awalnya tidak tahu bahwa ternyata Song Meri ini bisa dibentuk menjadi pagguyuban. Akhirnya diubahlah dari sanggar menjadi Paguyuban Song Meri.

Paguyuban Song Meri ini bertujuan mewadahi komunitas seni Desa Sukoharjo, di dalamnya bergerak mewadahi semua aktivitas kebudayaan dari dalam Desa Sukoharjo maupun di desa-desa sekitar. Jadi Paguyuban Song Meri bisa jadi ruang, untuk para seniman. Seniman dari luar Desa Sukoharjo pun juga bisa datang kesini untuk bergabung dalam kegiatan kebudayaan Song Meri.

Asal usul nama Song Meri sendiri dari sebuah petilasan yang letaknya tidak jauh dari lokasi Paguyuban Song Meri. Kata Song yang dalam artian di Desa Sukoharjo itu disebut watu growong. Watu growong adalah sebuah gua yang tidak terlalu dalam, menjadi tempat petilasan untuk peristirahatan atau perkumpuan. Sedang kan Meri itu peri-peri. Jadi jika digabungkan Song Meri adalah tempat peristirahatan atau perkumpulan peri-peri.

Amin Sastroprawiro selaku Ketua Paguyuban Song Meri /Dias Lusiamala

“Konon katanya petilasan Song Meri itu adalah petilasan para peri-peri, makanya dinamakan Song Meri. Nah, pas ngumpul dengan teman-teman, nama itu kok bagus. Karena tujuan kita adalah untuk ngumpul-ngumpul membuat sesuatu. Diambil nama Song Meri itu.” ,kata Amin (09/04/2022)

Kegiatan kebudayaan yang biasa dilaksanakan Pagguyuban Song Meri adalah seperti upacara tradisi. Pernah digelar dulu saat kemarau panjang, yaitu digelar upacara musik “orok-orok” yaitu pemanggil hujan. Masyarakat di sini menyakini jika musik ini dibunyikan bisa mendatangkan hujan.

Ada juga kegiatan “ntas-ntas” upacara adat rasa syukur ke alam bahwa pekerjaaan pertanian sudah selesai. Ada juga upacara adat tetek melek, adalah upacara untuk mengusir paggebluk. Sedangkan kegiatan rutinan Pagguyuban Song Meri yang biasa dilakukan yaitu Pasar Beling. Yaitu pasar tradisi, yang hanya buka setiap Minggu Wage.

Gamelan beling/Dias Lusiamala

“Awal mula kegiatan pasar beling, karena ada teman dari Makassar ke sini untuk eksperimen membuat alat gamelan dari kaca atau beling. Nah, sisa belingnya dibuat jadi koin. Lalu ada teman yang nyeletuk, wah bagus ini kalau dibikin pasar beling. Setelah gamelan kaca jadi, kita melaunching sekaligus membuka pasar beling. Jadi transaksi di pasar beling, pakai koin yang terbuat dari beling,” terang Amin

Jadi cara main di pasar beling yaitu uang ditukar dengan beling sejumlah nominalnya, misal 10 ya Rp10,000. Nantinya bisa dipakai untuk jual beli di pasar beling. Namun saat Ramadan pasar beling off digantikan dengan pasar Ramadan.

Yang unik dari Pagguyuban Song Meri ini memiliki gamelan beling yang menurut Amin sepertinya baru disini ada gamelan beling. Gamelan beling ini dibuat oleh Toni Konde seniman asal Solo pemilik komunitas wayang sampah. Tony suka bereksperimen membuat alat musik dari limbah kaca.

Harapannya Song Meri bisa jadi wisata budaya dan bisa menggerakkan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di Desa Sukoharjo. Fokusnya, Song Meri mau menjadi pemberdayaan masyarakat, jadi bisa menggerakan aspek Budaya, Sosial, Ekonomi dan Pariwisata.

Editor: Amirudin Zuhri

RELATED NEWS