JAKARTA – Di tengah lonjakan kasus COVID-19 akibat penyebaran varian Omicron, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pun meminta pemerintah untuk mengevaluasi dan meninjau ulang Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah.
Pada 23 Januari 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan 1.626 kasus yang disebabkan oleh Omicron sejak varian itu masuk ke Indonesia. Jumlah itu pun menjadi dasar kekhawatiran PDPI akan proses PTM yang sudah mulai dilaksanakan di sekolah.
Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat PDPI Erlina Burhan pun menyarankan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan PTM, khususnya bagi peserta didik di bawah usia 12 tahun. Ia pun mengatakan sebaiknya anak-anak usia 6 sampai 11 tahun mengikuti kegiatan belajar mengajar secara daring sampai varian Omicron dapat dikendalikan.
“Saran saya kepada pemerintah, tolong ditinjau ulang PTM, terutama untuk anak-anak di bawah 12 tahun karena kasus lagi naik,” ujar Erlina dalam konferensi pers Senin, 24 Januari 2022.
Mengingat anak di usia 6-11 tahun banyak yang belum mendapatkan vaksinasi COVID-19, mereka pun tergolong dalam kategori rentan. Jika anak-anak di usia ini banyak melakukan interaksi dalam PTM, maka risiko infeksi pun akan semakin besar.
Erlina pun menambahkan, saat ini banyak sekolah yang memutuskan tutup untuk sementara waktu karena ditemukannya kasus COVID-19 di antara murid dan guru. Oleh karena itu, kebutuhan untuk meninjau ulang PTM pun semakin mendesak.
“Jangan PTM dulu sampai COVID-19 Omicron ini bisa terkendali,” papar Erlina.
Sebelumnya, Direktur Sekolah Dasar Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sri Wahyuningsih menjelaskan alasan PTM perlu segera diberlakukan.
Pelaksanaan PTM diberlakukan untuk menghindari learning loss akibat pembelajaran secara daring yang berkepanjangan. Untuk itu, pemerintah menyiapkan regulasi protokol kesehatan di sekolah dengan ketat agar PTM dapat dilaksanakan kembali.
“PTM adalah jawaban untuk mengejar ketertinggalan, tapi tetap prokes, prokes, dan prokes,” ujar Sri.
Sri pun menambahkan, proses belajar daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berkepanjangan juga dapat menyebabkan penurunan kualitas karakter anak, penurunan kedisiplinan, meningkatnya stress, dan angka putus sekolah.