PACITAN – Pandemi Covid-19 memunculkan gangguan pendengaran terbaru yang disebabkan oleh gaya hidup. Gangguan pendengaran ini dinamakan bising rekreasional.
Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT) Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) Fikri Mirza Putranto mengatakan, masa pandemi membuat pengguaan personal listening device atau gawai untuk mendengar saat mengikuti rapat secara daring atau menyimak webinar menjadi meningkat seiring dengan maraknya kegiatan bekerja dari rumah.
“Ini dapat memicu penurunan pendengaran,” kata Fikri dalam webinar “World Hearing Day” yang digelar oleh RSUI dan dilansir dari siaran pers, Senin (14/3/2022).
Lebih lanjut dipaparkan Fikri, faktor yang mempercepat kerusakan pendengaran akibat gawai itu diantaranya mendengarkan musik menggunakan earphone dan meningkatkan volume, durasi menggunakan yang sangat lama. “Gaya hidup seperti merokok, mengonsumsi alkoholm juga dapat menjadi faktor yang mempercepat kerusakan pendengaran akibat gawai” tutur Fikri.
Lebih lanjut dipaparkan Fikri, umumnya gangguan pendengaran yang terjadi belum dirasakan sebelum kondisi menjadi berat. “Permasalahan yang terjadi adalah, gangguan pendengaran akibat gaya hidup ini sebagian bisa menjadi cacat yang akan mempengaruhi kualitas hidup di masa mendatang” kata Fikri.
Terdapat pula kebiasaan yang sering dilakukan tanpa disadari dapat mengganggu pendengaran. Yakni dengan mengorek telinga atau membersihkan kotoran telinga. Kotoran telinga merupakan hal normal yang terbentuk sebagai bagian dari proses pertahanan tubuh mencegah kuman dan benda asing masuk ke liang telinga.
Kesalahan pada waktu mengorek telinga dapat menyebabkan infeksi pada kulit liang telinga. Faktor yang menyebabkan telinga mudah gatal, yaitu serumen kering yang terjadi pada pasien dengan alergi, kelainan kulit, dan lanjut usia.
Radang telinga, lanjut Fikri, juga bisa terjadi akibat kebiasaan menyelam, hal ini terjadi karena adanya perubahan tekanan. Untuk mencegah hal ini disarankan untuk para penyelam kembali ke permukaan secara perlahan untuk menghindari perubahan tekanan secara drastis.
Kebisingan juga dapat tercipta tidak hanya dari gawai yang membantu mendengar, namun juga di tempat kerja seseorang.
Dokter Spesialis Okupasi RSUI Rakhmi Savitri mengatakan, beberapa pekerjaan yang biasa dilakukan juga memiliki kebisingan. Misalnya pekerjaan dengan alat berat, pekerjaan dengan kondisi yang mengeluarkan musik terlalu keras dapat mengeluarkan kebisingan di atas 80 desibel.
“Kegiatan yang melebihi 85 desibel akan berpotensi mengakibatkan gangguan pendengaran akibat bising. Ambang batas kebisingan di tempat kerja rata-rata 85 desibel untuk delapan jam dan tidak boleh melebihi 140 desibel walaupun hanya sesaat. Cara untuk melindungi pendengaran yaitu dengan program konservasi pendengaran” papar Rakhmi.
Program konservasi pendengaran dipaparkan Rakhmi, merupakan program yang diterapkan di lingkungan kerja untuk mencegah gangguan pendengaran akibat terpapar kebisingan pada pekerja. Tujuan dari program tersebut untuk meningkatkan produktivitas kerja melalui pencegahan gangguan pendengaran akibat bising di tempat kerja.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan 12,5% anak-anak dan remaja berusia 6-19 tahun (sekitar 5,2 juta) dan 17% orang dewasa berusia 20-69 tahun (sekitar 26 juta) telah mengalami kerusakan permanen pada pendengaran mereka akibat paparan kebisingan yang berlebihan.
World Health Organization (WHO) juga menyebutkan bahwa lebih dari 5% populasi dunia atau sekitar 430 juta orang memerlukan rehabilitasi untuk mengatasi gangguan pendengaran mereka yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Diperkirakan pada tahun 2050 lebih dari 700 juta orang atau satu dari setiap sepuluh orang akan mengalami gangguan pendengaran yang dapat menyebabkan kelumpuhan.
Tulisan ini telah tayang di eduwara.com oleh Bhakti Hariani pada 14 Mar 2022