JAKARTA- PT Pertamina (Persero) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax Turbo dan Dex Series serta elpiji nonsubsidi jenis Bright Gas.
Harga Pertamax Turbo yang sebelumnya dijual Rp14.500 per liter sekarang menjadi Rp16.200 per liter, Pertamina Dex yang semula Rp13.700 kini menjadi Rp16.500 per liter, dan harga Dexlite dari Rp12.950 naik menjadi Rp15.000 per liter. Sementara harga elpiji Bright Gas juga naik Rp 2.000 per kilogram.
Sekretaris Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengatakan, kenaikan harga tiga produk Pertamina untuk menyesuaikan harga minyak dan gas dunia.
Pada Juni 2022, harga minyak Indonesia atau Indonesian crude price (ICP) senilai USD 117,62 atau lebih tinggi 37 persen bila dibandingkan harga pada Januari 2020.
Harga elpiji berdasarkan contract price Aramco (CPA) pada bulan lalu menyentuh angka USD 725 metrik ton atau lebih tinggi 13 persen jika dibandingkan harga rata-rata sepanjang tahun lalu.
Pertamina menyatakan porsi produk Pertamax Turbo dan Dex Series hanya lima persen dari total konsumsi BBM nasional. Porsi produk elpiji nonsubsidi juga hanya enam persen dari total komposisi elpiji nasional.
Dalam pernyataan terpisah, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati menjelaskan kenaikan harga minyak yang sangat tinggi mengakibatkan beberapa negara mengalami krisis energi, sehingga Pertamina sebagai BUMN energi membuat perencanaan yang akurat dengan menyeimbangkan antara aspek ketahanan energi nasional dan kondisi korporasi.
Menurutnya, Pertamina bukan hanya menjaga pasokan secara nasional, tetapi juga per wilayah hingga SPBU, karena stok yang diperlukan untuk masing-masing wilayah berbeda untuk jenis produknya.
“Kita tidak menyamaratakan jumlah untuk seluruh daerah, tetapi disesuaikan, karena ada daerah yang solarnya tinggi, ada yang Pertalite-nya tinggi, ada juga Pertamax-nya. Ini kita coba lihat satu per satu dengan digitalisasi SPBU,” ungkap Nicke dalam pernyataan resmi yang dikutip Senin (11/7/2022).
Dengan peningkatan harga minyak dan gas, kata Nicke tantangan berat di sektor hilir adalah harga keekonomian produk meningkat tajam. Ia menyebut, bila dibandingkan dengan harga keekonomian, harga jual BBM dan LPG yang ditetapkan Pemerintah sangat rendah.
Per Juli 2022, untuk Solar CN-48 atau Biosolar (B30), dijual dengan harga Rp 5.150 per liter, padahal harga keekonomiannya mencapai Rp 18.150. Jadi untuk setiap liter Solar, Pemerintah membayar subsidi Rp 13 ribu.
Untuk Pertalite, lanjut Nicke, harga jual masih tetap Rp 7.650 per liter, sedangkan harga pasar saat ini adalah Rp 17.200. Sehingga untuk setiap liter Pertalite yang dibayar oleh masyarakat, Pemerintah mensubsidi Rp 9.550 per liternya.
Demikian juga untuk LPG PSO, dimana sejak 2007 belum ada kenaikan, harganya masih Rp 4.250 per kilogram, dimana harga pasar Rp 15.698 per kg. Jadi subsidi dari pemerintah adalah 11.448 per kilo.
Untuk Pertamax, Pertamina masih mematok harga Rp 12.500. Padahal untuk RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar 17 ribu. Karena secara keekonomian harga pasar telah mencapai Rp 17.950.
“Kita masih menahan dengan harga 12.500, karena kita juga pahami kalau Pertamax kita naikkan setinggi ini, maka shifting ke Pertalite akan terjadi, dan tentu akan menambah beban negara,” klaim Nicke.
Tulisan ini telah tayang di ibukotakini.com oleh Redaksi pada 11 Jul 2022