YOGYAKARTA-Ketika mendapatkan wilayah dari hasil Perjanjian Giyanti tahun 1755, Pangeran Mangkubumi kemudian mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dia membangun Kraton di sebuah tanah yang dikenal sebagai Pacetokan. Selama pembangunan Kraton dilakukan, Pangeran Mangkubumi yang sudah bergelar Hamengku Buwono I tinggal di Pasangrahan Ambarketawang, sekitar 8 km arah barat dari Kraton Yogyakarta.
Pembangunan Kraton dimulai pada 9 Oktober 1755 dan selesai pada 7 Oktober 1756. Kemudian Sultan HB I beserta keluarga pindah ke Kraton. Tanggal 7 Oktober inilah yang diperingati sebagai hari jadi Kota Yogyakarta.
Dalam membangun Kraton, Pangeran Mangkubumi menggabungkan filosofi Jawa dan Islam. Hal ini menjadikan setiap titik atau tempat yang dibangun memiliki makna tersendiri.
Sebenarnya folosofi dimulai dari Pantai Selatan. Tepatnya di Pantai Parangkusumo. Di tempat ini terdapat dua batu hitam yang disebut sebagai tempat pertemuan antara Ratu Laut Selatan dan Panembahan Senapati. Leluhur dari Mataram yang akhirnya melahirkan Kasultanan Ngayogyakarta. Sebenarnya ini melambangkan bahwa asal usul manusia berasal dari air.
Jika ditarik ke utara, maka dari titik itu akan lurus ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di antara keduanya, terdapat bangunan yang disebut sebagai Panggung Krapyak. Terletak sekitar 1 km selatan Kraton. Aslinya tempat ini dulunya adalah tempat menyimpan binatang hasil perburuan raja. Tetapi juga melambangkan awal kehidupan manusia yakni proses pembuahan.
Terus ke utara akan masuk ke Alun-alun Selatan yang merupakan halaman belakang Kraton dan kemudian masuk ke lingkungan kraton itu sendiri. Di kraton inilah manusia dilahirkan. Sehingga ada beberapa tempat yang menggambarkan sebagai bagian dari proses pendidikan awal. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Magangan. Ini menggambarkan proses awal pendidikan anak.
Ada banyak bagian-bagian penuh filosofi di dalam Kraton termasuk Siti Hinggil di mana tempat raja bertahta, gedung pusaka, gedung Jene dan sebagainya.
Tetapi kita akan melompat ke bagian paling utara dari Kraton yang dikenal sebagai Pagelaran. Ini berasal dari kata ‘gelar’ yang bermakna bahwa kehidupan manusia mulai digelar. Setelah pagelaran ada Alun-alun Utara Kraton yang digambarkan sebagai tempat bermain anak-anak. Di tengahnya ada dua pohon beringin kurung yang menggambarkan ciri bahwa anak-anak itu beranjak remaja yang ditandai dengan (maaf) munculnya rambut kemaluan.
Masa remaja adalah masa paling krusial hingga harus dibekali dengan pendidikan agama yang kuat. Maka sebelah barat Alun-Alun Utara dibangun Masjid Agung Yogyakarta. Selain itu pada masa lalu alun-alun utara juga dikelilingi pohon beringin yang berjumlah 99. Ini melambangkan Asmaul Husna atau nama-nama baik dari Allah SWT. Intinya ini sebagai simbol pentingnya pendidikan agama untuk bekal anak melanjutkan perjalanannya.
Setelah Alun-Alun Utara, akan ada jalan menuju ke utara. Jalan yang cukup unik karena hanya sekitar 200 meter tetapi memiliki nama yakni Jalan Pangurakan. Ini berasal dari kata ‘Urakan’. Sifat yang menggambarkan para remaja yang masih sering emosional. Inilah tahap perjalanan manusia selanjutnya.
Jalan yang tidak panjang ini menggambarkan bahwa masa urakan atau remaja itu tidak terlalu lama. Karena setelah 200 meter ke utara, kita akan bertemu dengan perempatan besar yang sekarang dikenal sebagai titik nol km Yogyakarta. Inilah gambaran manusia harus memilih jalan. Dia bebas menentukan arah, apakah mau ke kanan, kiri, atau lurus.
Jika dia tetap berpegang pada pendidikan yang didapat di dalam kraton ataupun di Alun-Alun maka seharusnya dia memilih jalan yang lurus. Karena berbelok berarti melenceng dari tujuan. Jika lurus maka masuk ke jalan yang sekarang dikenal sebagai Malioboro.
Jalan ini aslinya bernama Margo Utama, dan dalam beberapa tahun terakhir, nama itu kembali digunakan. ‘Margo’ berarti ‘jalan ‘, sementara ‘Utama’ berarti yang utama. Pada masa lalu sebenarnya jalan jalur Malioboro arahnya dari selatan ke utara, tidak seperti sekarang dari utara ke selatan.
Masuk jalan Margo Utama adalah pilihan tepat, tetapi bukan berarti tanpa godaan. Sekitar 200 meter setelah masuk jalan tersebut, Pangeran Mangkubumi membangun Pasar Beringharjo di sisi timur jalan. Sebenarnya ini adalah gambaran godaan dunia. Pasar melambangkan kesenangan dunia. Orang bisa mendapatkan apa yang dia cari di tempat ini. Pada saat itu orang bisa tergoda dan terlalu lama atau bahkan selamanya tinggal di pasar dan tidak melanjutkan perjalanan.
Setelah lepas dari pasar, sedikit ke utara juga di sisi timur jalan Pangeran Mangkubumi membangun apa yang dikenal sebagai Kompleks Kepatihan. Dulunya ini adalah istanadari Patih, dan kini digunakan sebagai kompleks kantor Gubernur DIY.
Bangunan ini juga memiliki makna yakni menggambarkan godaan pangkat dan jabatan. Bukan rahasia lagi, pangkat dan jabatan adalah godaan hidup yang sangat berat. Orang bisa lupa pada Tuhannya karena pangkat dan jabatan.
Setelah lepas dari kompleks kepatihan, perjalanan dilanjutkan ke utara dan kemudian masuk ke Jalan Margo Mulya. Sebuah jalan yang menghubungkan Malioboro dengan Tugu Yogyakarta. Artinya jelas, yakni jalan menuju kemulyaan.
Di ujung jalan ini, kita akan bertemu dengan tugu yang sekarang menjadi salah satu ikon Yogyakarta tersebut. Sebenarnya bentuk yang sekarang ini bukan asli dari tugu tersebut. Dulunya tugu tersebut bernama Tugu Golong Gilig dengan puncaknya berbentuk bulat. Jika Anda berkunjung di tempat ini. disi sisi Timur Tugu telah dibangun miniatur dari tugu asli tersebut. Tugu yang sekarang adalah buatan Hindia Belanda yang membangunnya karena tugu asli rusak akibat gempa besar.
Tugu inilah yang menggambarkan puncak dari perjalanan manusia. Sebuah kebulatan tekat untuk bertemu dengan Tuhannya. Dari tempat ini orang akan langsung berhadapan dengan Gunung Merapi yang merupakan puncak tinggi. Ini filosofi dari keberadaan Tuhan. Inilah kenapa dari Laut Selatan-Kraton-dan Merapi dikenal sebagai garis imajiner. Karena garis tersebut menggambarkan proses perjalanan manusia dari asal usul berupa air hingga bagaimana agar bisa bertemu dengan Tuhannya.
Tetapi tentu saja, ini hanya sebagian dari kisah yang berkembang tentang filosofi Kraton Yogyakarta karena ada beberapa versi yang lain.